I. Perkampungan Kota
Jika kita ingin mengetahui perkembangan kota Yogyakarta pada permulaaan berdirinya, maka rasanya kita perlu menyelidiki perkembangan perkampungan di kota Yogyakarta itu. Buku “Kota Yogyakarta 200 Tahun”
halaman 22 dan seterusnya tentang hal itu antara lain menulis sebagai berikut: “ bersama sama dengan perkembangan pembangunan Kraton, Sri Sultan Hamungkoe Boerwono I menitahkan juga untuk membangun kampung-kampung di sekeliling BALUWETI KRATON, dimulai dari kampung-kampung untuk perumahan dan asrama-asrama para anak-buah angkatan perang dan para Perwiranya, sungguhpun pada hakekatnya, dengan mengingat sifat pribadi Sri Sultan HB I, dan mengingat pula suasana di masa itu, barangkali beliau lebih menginginkan mereka itu semua bertenpat tinggal di dalam Baluwerti Kraton. Tetapi bagaimana juga luasnya benteng Kraton itu, tidak juga dapat mencukupinya. Inilah sebabanya hanya mereka yang terpilih sangat penting sekali, yang bertempat tinggal di dalam benteng Kraton.
Dengan demikian, kita bisa menarik kesimpulan, bahwa kampung-kampung di dalam kota Yogyakarta yang tertua, adalah kampung yang namanya mempunyai hubungan langsung dengan Resimen-resimen atau bagian-bagiannya atau kampung yang namanya merupakan ahli-ahli tehnik, karena cara memberikan nama pada kampung-kampung itu, menurut nama pembesar atau golongan anak bauh angkatan Perang, atau golongan-golongan ahli tehnik yang menempatinya semula. Lebih tegas umpamanya: Kampung Bintaran, karena yang semula menempatinya adalah Pangeran Bintoro; Kampung Surokarsan, karena semula menjadi tempat Prajurit Sukokarso; kampong Notoprajan, karena semula ditempati Pangeran Notoprojo; Kampung Dagen, karena semula ditempati olhe golongan Undagi (Tukang kayu). Kampung Kumendaman, karena ditempati oleh Komandan Angkatan Perang; Kampung Wirogunan, karena ditempati oleh bupati Wiroguo; Kampung Wirobrajan, karena semual ditempati oleh Prajurit Wirobrojo, dan seterusnya.
Menurut dokumen-dokumen yang terdapat di dalam Kapunjanggan Kraton Ngayogyokarto, batas-batas ibukota Ngayogyokarto Hadiningrat yang semula adalah:
1. Sebelah utara: Kampung Jetis sampai kampong Sagan dan Samirono
2. Sebelah timur: Kampung Samirono sampai kampong Lowanu
3. Sebelah Selatan: Kampung Lowanui sampai kamping Bugisan
4. Sebelah barat: kampung Bugisan sampai kampong Tegalrejo
Dengan demikian Ibukota Ngayogyokarto memanjang ke uatara, kali Winongo dan kali OCde yang mengapit Kraton menembus ibu kpota dari jurusan utara ke selatan, Justru karena itulah, maka jika hujan turun lebat di dalam kota, dalam beberapa saat saja musnahlah airnya, karena kedua sungai itu mempunyai tenaga yang cukup kuat untuk pembuangan air dari seluruh kota.
Di bawah pimpinan orang kuat lahir batinnya, seperti Sri Sultan HB I, pembanguna baik di dalam kraton maupun di dalam ibukota Ngayogyokarto berhalan sangat lancer. Dalam waktu yang tidak lama ibu kota Ngayogyokarto telah menjadi ibukota yang hidup dalam arti yang sangat luas.
Setapak demi setapak melangkah kea rah kemajuan. Orang dari sana sini dating bergiliran dengan membawa bermacam-macam barang-barang dagangan keperluan hidup sehari-hari, di antara pedagang-pedagang itu banyak pula yang terus bertempat tinggal di ibukota yang baru lahir itu, di antaranya termasuk orang-orang Tionghoa.
Menurut dokumen-dokumen yang bias diketemukan, kampung-kampung yang diperkenankan untuk tempat tinggal orang-orang kulit putih, mula-mula Lojikecil, kemudian meluas ke jalan Secodiningratan (sekarang jalan Panembahan Senopati, dahulu Kampements-Straat), kemudian meluas ke kampong Bintaran dan Jetis, akhoirnya ke kota Baru. Sedang bagi orang-orang Arab adalah kampong Sayidan,, dan bagi orang-orang Tionghoa, mula-mula di kampong Kranggan, kemudian lambat laun meluas ke sana sini, terutama ke tempat-tempat yang baik untuk perdagangan.
Judul Buku “Sejarah Lahirnya Kota Yogyakata”” oleh Mr Soedarisman Poerwokoesoemo. Penerbit Yayasan Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan “Panunggalan” Lembaga Javanologi. Halaman 17-19
Filsafat Kota Yogyakarta
Dimensi filosofis mengartikan Kraton sebagai duplikat kosmos yang mempunyai kekuatan sentrifugal pada lingkungannya, termasuk manusia sebagai mikro kosmos. Bentuk bangunan Kraton, yang nantinya menjadi sumber bagi planologi kota Yogyakarta penuh dnegan symbol hidup dan kehidupan manusia. Hubungan Tuhan-Manusia,-alam semesta tergambar dalam bentuk bangunan yang memberikan pemahaman filosofis, baik secara metafissis maupun antropologi filsafati.
Seperti kata Dr Damardjati Supajar dalam makalah Tahta untuk Kesejahteraan Rakyat dan Budaya, 1989, “Bangunan kota Yogyakarta Hadiningrat ditata berdasarkan wawasan integral makro dan mikro-kosmologis, mencakup dimensi spatial: lahir dan batin, serta temporal: awal-akhir. Kawasan kraton yang membentang lebih dari 5 km itu merupakan kesatuan kosmologis AUM (Agni/Gunung Merapi, Udaka/ Laut Selatan, dan MAruta/Udara bebas atau segar, di atas Sitihingil, yaitu tanah yang ditinggikan sebagai pengejawantahan akan harkat manusia yang atas perkenaan Tuhan Yang Maha Esa, diangkat atau ditinggikan sebagai Khalifatulah. Itulah unsur Ibu Pertiwinya. Sedangkan unsure kebapak-Angkasanya mencakup Surya, Candra, Kartika yang kesemuanya itu mencakup secara integral pada nama/tekad Hamungkubuwono.”
Menurut Kebijaksanaan pemerintahan Kotamadya Yogyakarta dalam strategi pengembangan tata ruangnya, planologi kawasan di Yogyakata seperti dalam pola Dasar Pembangunan Kotamadya Yogyakarta, 1988-1993, “Corak pembentukan kota Yogyakarta pada hakekatnya merupakan implementasi dari konsep P. Mangkubumi 1755, yang berdasarkan pada bentuk tata tubuh manusia, dimana kota Yogyakarta terbagi menjadi 2 wilayah, bagian selatan merupakan symbol rohani dan bagian utara merupakan simbol duniawi.”
Planologi kota Yogyakarta juga didasarkan pada keserasian makna filosofis sumbu imaginer yang merupakan garis lurus Krapyak-Kraton-Tugu, yang masing-masing di antaranya berdiri bangunan-bangunan yang mempunyai arti dan makan tentang proses kehidupan manusia, mulai dari lahir sampai mati.
Kraton Yogyakarta sebagai cikal bakal kota Yogyakarta didirikan oleh R.M. Sujono yang bergelar Pangeran Mangkubumi yang kemudian menjadi raja dengan gelar Sri Sultan Hamungkubuwono I pada tahun 1756 atau tahun Jawa 1682. Pembangunan ini ditandai dengan condrosengkolo memet di pintu gerbang Kemangangan dan di pintu gerbang Gedung Mlati, berupa dua ekor naga berlilitan satu sama lainnya. Dalam bahasa Jawa “ Dwi Naga Rasa tunggal”. Artinya Dwi = 2, naga = 8, rasa = 6, tunggal = 1. Dibaca dari belakang menjadi 1682.
Pemilihan lokasi untuk bangunan Kraton ini ditetapkan atas usulan seorang pekatik terpercaya sebagai haisl pengamatannya, bahwa lokasi itu merupakan tempat berkumpulnya burung kuntul dan blekok. Kompleks Kraton terletak di tengah-tengah antara bentangan sungai Code dan sungai Winanga., di hutan Garjitawati dekat desa beringin dan desa Pacetokan. Sumbu imaginernya adalah:
1. Krapyak adalah gambaran tempat asal roh-roh. Di sebelah utaranya terletak kampong Mijen, berasal dari perkataan Wiji (benih), jalan lurus ke utara, di kana kini dihiasi pohon Asem dan Tanjung, menggambarkan kehidupan sang anak yang lurus, bebas dari rasa sedih dan cemas, rupanya nengsemaken serta disanjung-sanjung selalu.
2. Plengkung Nirbaya (Plengkung Gading). Plengkung ini menggambarkan periode sang anak menginjak dari masa kanak-kanak ke masa pra puber. Dimana sifatnya masih nengsemaken (pohon asem) dan jukan suka menghias diri (nata sinom). Sinom merupakan daun asam yang masih muda.
3. Alun-alun selatan. Di sini terdapat dua pohon beringin yang disebut Wok. Wok berasal dari kata brewok. Dua pohon beringin di tengah-tengah alun-laun ini menggambarkan bahagian badan yang paling rahasia, oleh sebab itu diberi pagar batu. Jumlah dua menunjukan laki-laki, sedangkan namanya Supiturang melambangkan perempuan. Disekitar alun-alun ini terdapat lima buah jalan yang bersatu sama lain, menujukan panca indra. Tanah berpasir artinya belum teratur, lepas satu sama lain. Apa yang ditangkap belum teratur oleh panca indera, Keliling alun-alun ditanami pohon Kweni dan Pakel artinya sang anak sudah wani (berani karena sudah akal balig)
4. Sitihinggil, arti harfiah tanga yang ditinggikan. Di sini terdapat sebuah tratag atau tempat beristirahat beratap anyaman bambu. Kanak kiri tumbuh pohon gayam dengan daun-daunnya yang rindang sertya bunga-bunganya harum sekali. Siapa saja yang berteduh dibawah tratag ini akan merasa aman, tentram senang dan bahagia. Menggambarkan rasa pemuda-pemudi yang sedang dirindu asmara.
Konsep lain dengan esensi yang sama disampaikan oleh KRT Puspodiningrat (Puspodiningrat, 84;4) bahwa Sitihinggil terdapat dua bangunan untuk penjagaan abdi dalem Gandheg= penghubung = penggandeng. Nama depan hamba (abdi) ini adalah Duto dan Jiwo, dengan maksud Andudut Jiwa =jiwanya ditarik bersamaan antara laki-laki dan perempuan menyalakan api percintaan.
5. Halaman kemandungan, menggambarkan benih dalam kandungan sang ibu.
6. Regol Gadung mlati sampai kemanggangan merupakan jalan yang sempit kemudian melebar dan terang benderang. Suatu gambaran Anatomis kelahiran sang bayi. Di sini bayi kemudian magang (kemagangan) menjadi calon manusia dalam arti sesungguhnya.
7. Bangsal Mangun-Tur-Tangkil, sebuah bangsal kecil yang terletak ditratag Sitihinggil, Jadi sebuah bangsal di dalam bangsal yang mempunyuai arti bahwa di dalam badan kita (wadag) ada roh atau jiwa. Manguntur Tangkil berarti tempat yang tinggi untuk anangkil, yaitu menghadap Tuhan yang Maha Kuasa dengan cara mengheningkan cipta atau bersamadi.
Di belakang bangsal in terdapat sebuah bangsal lagi yang disebut bangsal Witono, yang mengandung arti wiwit ono (mulailah), merupakan awal kegiatan spiritual manusia mendekatkan diri dengan Tuhan.
8. Tarub Hagung, merupakan bangunan yang mempunyai 4 tiang tinggi dari pilar besi yang mempunyai bentuk empat persegi. Arti bangunan ini iadalah: siapa yang gemar samadi, sujud kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, berada selalu dalam keagungan.
9. Pagelaran, yang berasal dari kata Pagel = pagol = pager = batas dan aran = nama. Dimana habislah perbedaan manusia, baik laki-laki maupun perempuan, terutama di hadapan Tuhan. Sehingga semua kalangan di dalam kraton yang menggunakan bahasa yang sama yaitu bahasa karma inggil yang diubah, yang disebut bahasa bagongan.
10. Alun-alun utara(lor) menggambarkan suasana nglangut, suasana tanpa tepi, suasana hati kita dalam samadi. Pohon beringindi tengah alun-alun menggambarkan suasan seakan-akan kita terpisahkan dari diri kita sendiri. Mikrokosmos bersatu dalam makrokosmos. Simpang empat di sebelah utara menunjukan godaan dalam samadi. Apakah kita memilih jalan lurus (Siratal mustaqim) atau menyimpang ke kanan-kiri.
11. Pasar Beringhardjo, pusat godaan setelah kita mengambil jalan lurus berupa godaan akan wanita cantik, makanan yang lezat serta barang-barang mewah.
12. Kepatihan, lambang godaan akan kedudukan atau kepangkatan.
13. Sampailah kita pada Tugu, simbol dari tempat Alif Mutakaliman Wachid, bersatunya kawulo lan gusti, bersatunya hamba dan Tuhan. Manunggaling kawulo lan gusti secara konsepsional dapat dibahas dalam Manunggaling Kawulo Gusti (P.J. Zoetmulder, 1990)
Kamis, 06 Januari 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar